Biasanya, ketika dulu saya masih sekolah mendapat tugas untuk menggambar pemandangan, pasti yang akan saya gambar

  1. 2 gunung berwana biru
  2. 1 matahari di tengah gunung beserta garis-garis cahaya matahari
  3. sawah yang dibelah jalanan
  4. rumah pak tani di tengah sawah sebelah kanan
  5. beberapa burung di atas gunung

Siapa yang merasa menggambar sama seperti saya?
mayoritas akan menjawab iya, tapi apakah kita pernah janjian ketika masih kecil?. Dimanapun saya dan kamu sekolah, kemungkinan gambar pemandangan adalah sama. Nah, sekarang coba kita cek kebenaran gambar masa lalu kita.

  1. apakah gunung itu berwarna biru? kayaknya nggak deh, kalau kita bisa lihat sawah berarti posisi gunung dekat dengan kita, harusnya ya hitam atau hijau kalau gunung tersebut banyak pohonnya.
  2. sejak kapan matahari ada ditengah gunung? kalau pak tani sedang disawah berarti matahari tidak sedang terbit atau terbenam, lagi pol panasnya bro
  3. poin ini masih masuk akal
  4. poin ini juga masih masuk akal, beberapa tempat istirahat untuk petani sering dijumpai di sawah
  5. saya tidak tau burung apa yang digambar oleh anak-anak, yang jelas imaginasi 2 gunung dan burung itu seperti masih terekam sampai kita dewasa, tapi kenapa masih terus diajarkan ketika menggambar ya?

Kenapa setiap anak yang menggambar akan menggambar sama dengan yang diatas? kenapa bukan pantai, kalau gambar pantai juga paling mentok pantai dan pohon kelapa.

Saya tidak yakin kalau anak kecil bisa tiba-tiba menggambar pemandangan yang sama tanpa ada yang mengajarkan, pasti ada yang mengajarkan, entah guru di sekolah atau orang tua di rumah. Tetapi menurut saya, gambar ini punya andil terhadap salah satu ketakutan kita, takut untuk berbeda.

Kalau yang lain menggambar pemandangan seperti itu, berarti kita juga harus sama seperti itu, akhirnya jadi takut untuk berpikir out of the box. Sehingga terprogram, apapun yang mau kita lakukan harus sama dengan orang lain, jangan mengambil terobosan, nanti dibilang aneh.

Terus salah orang tua kita? salah guru-guru kita? saya yakin mereka juga tidak sadar ketika melakukan itu. Kita harus mulai menamkan kepada diri sendiri dan orang sekitar kalau berbeda itu tidak masalah, beda selama tidak melanggar aturan agama dan hukum. Dan karena ini juga puncak selalu macet diakhir pekan, asosiasi manusia kalau mau refreshing harus mencari pemandangan, pemandangan bisa didapatkan di puncak atau pegunungan.

Akhirnya, semakin banyak orang setress karena kalau mau santai harus jauh-jauh ke puncak. Membaca buku? wah ini malah bikin tambah setress, karena buku sudah dihubungkan dengan PR, tugas, dan kerjaan, atau sama dengan BEBAN. Coba kalau membaca buku bisa membuat anda santai, tidak perlu harus ke puncak dan lihat gunung, tinggal baca buku langsung santai, dimanapun.

Kalau ke pantai? pantai ya Bali, lebih jauh lagi bro :p